Another Kind of Love
| at 7:47 PM
Karena Ini yang Terakhir, Terima Kasih
| at 8:33 PM
Aku membaca kembali buku harianku tahun lalu. Tertulis di dalamnya dengan huruf kapital, "RESOLUSI TAHUN BARU: CARI GEBETAN!!!" Aku tertawa membacanya, sebuah resolusi yang memberikan perubahan banyak dalam kehidupanku tahun lalu. Sekarang aku memandang foto itu, seorang laki-laki yang sedang tertawa. Wajahnya manis, tetapi senyumnya agak aneh, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.
Tidak, ini bukanlah kisah cinta yang gombal atau manis, ini hanyalah cerita mengenai bagaimana cinta dapat memberikan pandangan baru terhadap dunia, memberikan semangat untuk meraih cita-cita. Ya, dia memberikan banyak hal kepada diriku bahkan tanpa berbuat apa-apa.
Cerita ini akan aku awali dengan satu frase mengenai dirinya, dia jenius. Ya, setidaknya itu yang dikatakan oleh teman-temannya saat aku bertanya tentang dirinya. Aku tidak dapat memastikan, hingga saat aku menuliskan ini, aku tidak mengenalnya. Ya, kami tetap merupakan orang asing untuk satu sama lain. Keberadaan kami masing-masing hanya berupa nama untuk yang lain.
Awwal pertemuan, tidak ada hal yang menarik. Aku hanya menganggapnya sebagai salah satu laki-laki tampan yang ada di sekitarku, tidak lebih. Pertama kali aku melihatnya adalah saat dia memetik gitar di atas panggung bersama teman-temannya. Dia duduk di posisi agak belakang, sama sekali tidak tersenyum, membuatnya terlihat agak menakutkan dan terkesan dingin. Tidak terlalu menarik perhatianku, aku lebih tertarik melihat temannya yang menjadi vokalis.
Namun pandanganku itu berubah beberapa bulan setelah pertemuan pertama itu. Saat itu aku sedang tertawa dan bercanda bersama teman-temanku di kantin. Mungkin kami terlalu ribut, entahlah, tetapi kemudian aku merasakan ada yang memandang kami dengan sinis. Aku memandang sekeliling, sampai akhirnya aku melihat dia--duduk tidak jauh dari kami, sedang memandang kami dengan tatapan dingin. Aku balik memandang dia, tatapannya agak aneh, tajam dan dingin, bahkan tanpa dia perlu melotot. Agak ciut rasanya berada di bawah tatapan itu. Aku langsung menyikut beberapa temanku agar memelankan suaranya, aku sendiri langsung diam tak bersuara dan beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Dia sudah kembali sibuk membaca. Itulah saat aku mulai tertarik padanya. Sebuah momen yang aneh.
Sejak saat itu aku mulai memperhatikan dia. Rupanya dia memang tampan. Tinggi, dengan bahu yang bidang, walaupun memang agak kurus. Kakinya bagus, semampai. Memang, ini semua berawal dari ketertarikan fisik. Aku mulai mencari tahu berbagai hal mengenai dirinya, aku ingin mengenalnya, aku penasaran dengan dirinya.
Setelah aku iseng-iseng mencari tahu tentang dirinya di internet, baik dari profilenya dan teman-temannya, aku berhasil menemukan blognya. Menurutku, blog adalah tempat yang paling baik untuk mencari tahu tentang seseorang, karena biasanya blog adalah tempat seseorang mencurahkan sesuatu. Awalnya, aku tidak terlalu mengerti mengenai tulisannya, terlalu berat dan menggunakan bahasa Inggris tingkat tinggi. Wow. Namun aku akhirnya sampai pada salah satu tulisannya yang menarik mataku. Tulisan itu bercerita mengenai dirinya ketika kecil. Entahlah, tulisannya itu terasa memiliki banyak emosi, kemisteriusan, dan yang paling terutama adalah kepolosan. Dia memiliki pola pikir yang berbeda dengan orang kebanyakan. Aku jatuh cinta pada penulis tulisan itu. Siapa pun orangnya, dan kebetulan orang itu adalah dia. Aku semakin ingin mengenal orang ini, lebih terutama dirinya yang merupakan penulis ini.
Dimulailah bayangan-bayangan yang aku buat mengenai dirinya. Semua karena aku tidak mengenalnya. Aku membayangkan dia hanya berdasarkan tulisan-tulisannya itu. Seseorang yang misterius, sulit diraih, dingin, sangat cerdas, dan unik. Bahkan ada kalanya aku melupakan fakta bahwa dia sama seperti manusia lainnya yang juga memiliki kekurangan. Aku memandangnya terlalu tinggi.
Aku merasa minder terhadap dirinya. Aku merasa kurang untuk melakukan pendekatan terhadap dirinya. Dia tampan, dan juga pintar. Sedangkan aku? Ah, aku bukan siapa-siapa di lingkungan kami. Tidak banyak yang mengenalku. Aku tidak cantik, tapi aku yakin bahwa aku sebenarnya tidak bodoh. Hanya itu saja yang aku andalkan untuk mendekatinya. Toh aku memang tertarik padanya karena tulisan dan pola pikirnya tertuang melalui tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya itu membuat aku merasa tidak sendirian, aku merasa kami memiliki kesamaan dalam berpikir. Sejak itulah aku terpacu untuk menjadi lebih baik lagi. Aku mulai membuka pikiran-pikiranku, kembali berpikir dengan liar sebagaimana diriku dulu yang sempat terlupakan. Aku mulai membaca banyak buku, belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi. Terutama aku mulai berkutat dengan bacaan-bacaan filsafat. Aku seolah membuka dunia baru. Begitu banyak hal-hal yang dulu terlewatkan untuk beberapa saat dan sekarang aku memandang dunia dengan terkagum-kagum penuh keheranan. Akhirnya aku melihat dunia yang penuh dengan keajaiban. Begitu banyak hal yang kemudian membuat aku bertanya-tanya, tidak habis pikir dengan segala peristiwa-peristiwa alam. Bahkan kehidupan semut saja membuatku kagum. Beberapa temanku agak kaget melihat perubahan yang terjadi pada diriku, melihatku semakin banyak bertanya tentang suatu hal yang terdengar agak aneh dan tidak biasa. Awalnya aku juga agak aku juga agak sebal karena mereka tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Namun kemudian kami sama-sama belajar, mereka belajar untuk tidak sepenuhnya menanggapi setiap pertanyaanku, aku pun belajar bahwa tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan kata-kata, ada kalanya pertanyaan hanya dapat dijawab dengan merasakan.
Pikiran-pikiranku yang begitu banyak terlalu sayang untuk aku abaikan, mugkin suatu saat akan berguna. Baik berguna untukku maupun mungkin untuk orang lain. Mulailah aku menulis lagi. Melalui puisi-puisi, cerpen-cerpen, aku berbagi pikiran, aku berbagi pengalaman, aku berbagi cerita. Kegiatan ini pun membuat aku mendapatkan banyak respon positif dari teman-temanku. Aku kembali bersemangat. Aku menulis semakin banyak dan semakin banyak lagi, aku menemukan jiwaku lagi. Menulis menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan bagiku, mengingatkan aku mengenai cita-citaku sejak kecil, untuk menjadi penulis. Aku jadi ingin kembali mengejar cita-citaku yang sudah lama aku lupakan, menjadi penulis. Aku sudah mulai merencanakan langkah-langkah apa saja yang akan aku ambil untuk memulai karir sebagai penulis. AKu mulai merancang semuanya.
Tidak hanya itu saja. Suatu hari aku dengan tidak sengaja aku melihat dia menggambar, sebuah gambar yang cukup bagus menurutku, walaupun dia sebenarnya bisa lebih baik lagi kalau dia mau serius berlatih. Saat itu aku kembali terobsesi untuk menjadi setara dengannya. Aku kembali menekuni hobi menggambarku yang dulu pernah menjadi cita-cita dan sebagian besar kehidupanku. Aku mengejar kesuksesan di kedua bidang, menulis dan menggambar. Alhasil, aku mengalami banyak kemajuan dan mendapatkan banyak pembelajaran. Semua awalnya hanya untuk menarik perhatiannya.
Berbagai kemajuan ini membuat aku akhirnya merasa cukup percaya diri untuk melakukan pendekatan terhadap dirinya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya, dan betapa terkejutnya diriku saat dia membalas sapaanku dengan senyuman. Senyumnya manis. Aku benar-benar tidak menyangka. Sejak saat itu kami mulai sering bertukar pandang secara diam-diam. Aku merasa bahwa aku memiliki peluang yang semakin besar untuk mendekatinya. Namun rupanya dugaanku salah.
Reaksinya itu hanya sebentar. Tidak berlangsung lama seperti yang aku harapkan. Berulang kali pula aku mengalami sakit hati karena tidak memahami segala sikapnya. Selain itu pula aku mulai menyadari dan bimbang, apakah benar dia yang aku cintai? Ataukah penulis itu yang aku cintai? Mungkin aku tidak hanya mencintai dirinya sebagai penulis itu, aku tidak tahu dirinya seperti apa. Kami tidak saling mengenal. Kami hanya sebatas nama untuk satu sama lain.
Aku melihat lukisan wajahnya yang aku buat beberapa bulan lalu. Tidak ada lagi perasaan berdebar-debar seperti apa yang kurasakan dulu, sekarang hanya ada rasa geli dan rasa bersyukur. Geli bila mengingat begitu banyak perubahan yang terjadi dalam diriku sejak aku bertemu dengannya, bersyukur karena aku telah bertemu dengannya. Tidak apa walau sampai akhir ini kami tetap tidak saling mengenal. Perubahanku sudah cukup, kami mengenal sebatas nama sudah cukup, kami bertegur-sapa sudah cukup. Usahaku sudah cukup, reaksinya sudah cukup. Semuanya sudah cukup.
Sebenarnya sekarang aku ingin sekali menyampaikan rasa terima kasihku padanya. Terima kasih karena muncul dalam kehidupanku, terima kasih karena tanpa ia sadari ia telah mengajariku banyak hal mengenai hidup, terima kasih karena berkat perasaanku padanya aku berhasil menemukan kembali cita-cita dan tujuan hidupku, terima kasih karena berkat perasaanku padanya aku berhasil untuk mencintai diriku, terima kasih karena telah memberikan banyak perubahan baik pada diriku. Semuanya ia lakukan tanpa sadar. Entah mengapa, aku masih terpaku pada pikiranku mengenai dirinya bahwa ia adalah orang yang sebenarnya kesepian. AKu ingin menyampaikan rasa terima kasihku, menceritakan betapa banyak yang ia berikan padaku, betapa berharganya dirinya di mataku, aku ingin memberitahunya bahwa keberadaannya sangat berarti, aku ingin memberitahunya bahwa setidaknya ada orang yang peduli dengan dirinya. Hanya itu. Aku ingin berterima kasih kepada dirinya. Namun apa mau dikata, sampai akhir kami tetaplah orang asing yang tanpa penghubung. Tidak memiliki sesuatu yang bisa dibicarakan, hanya nama untuk ditegur dan disapa, hanya wajah untuk diberikan senyuman.
Tujuan yang sedang berjalan, tetapi terlupakan
| at 3:32 PM
dulu gw sangat yakin untuk masuk fakultas ini, dengan harapan setinggi langit, dengan cita-cita yang melebihi tinggi bintang. ya, gw berharap bisa menyelematkan dan menolong orang sebagaimana selama ini gw selalu ditolong. tapi setelah di sini... hey! gw lah jadinya yang perlu ditolong...
gw kehilangan jiwa gw dulu. kebebasan berpikir gw, kemampuan menggambarkan perasaan gw. sekarang hampir seluruh karya gw cuma jadi benda. ya, cuma sebuah benda. ga ada lagi rasa yang mendayu-dayu, emosi yang kuat, pesan yang ingin gw sampaikan. semua hanya menjadi benda. sebuah usaha pengungkapan perasaan yang gagal.
tertawa? ah, itu adalah hal paling gampang yang selalu kulakukan. tersenyum? itu adalah settingan default wajah gw di kampus. tapi gw cuma jadi seonggok daging yang berjalan. tidak lagi berpikir. gw kehilangan keberhargaan gw. damn, bahkan gw benci bahwa gw harus menulis masalah yang terfokus pada diri gw sendiri seperti ini. gw benci menjadikan diri gw sebagai pusat dunia dan fokus pikiran gw. manusia macam apa gw yang masih sebodoh ini?
gw iri sama beberapa temen gw yang sudah dianggap dewasa, yang sudah mampu menginspirasi orang-orang. iya, gw iri. sebuah kata yang tabu untuk gw ungkapkan, karena berarti hal itu menunjukkan kekurangan dan ketidakmampuan gw. ya, gw benci dianggap lemah. ya, gw memang sombong, kawan. tahukah kau bahwa setiap gw membaca karya temen gw yang terlintas pertama kali di kepala gw adalah, "anjir, gw kalah." yah, gw yakin bakal ada beberapa yang bilang bahwa hal itu manusiawi untuk dipikirkan. tetapi menjadi manusiawi bukanlah tujuan yang ingin gw capai. menjadi biasa-biasa saja dan normal bukanlah tujuan yang ingin gw raih. gw pengen lebih, lebih baik lagi. perfeksionis? idealis? ah, itu semua memang sudah tertanam dalam diri gw.
akhir-akhir ini gw selalu berkata terserah bagaimana dengan orang lain, yang paling penting adalah bagaimana gw dengan diri gw. egois? memang. gw tidak peduli dengan apa yang telah dicapai orang--setidaknya berusaha untuk tidak peduli. lalu gw ngeliat sekeliling gw dan kaget, di situ lah gw menyadari bahwa gw sudah tertinggal. bahwa gw pelan-pelan melepaskan mimpi dan cita-cita keluar dari tangan gw. semua karena apa? semua karena gw terlalu tenggelam dalam perasaan gw. ya, gw terlalu terfokus pada dia yang bahkan tidak peduli dan tidak sadar dengan keberadaan gw. sial. gw selalu benci perasaan seperti ini, tetapi gw rindu untuk merasa dicintai oleh pasangan. ah, rasanya gw pengen memaki. brengsek.
sebuah perasaan yang bertepuk sebelah tangan ditukar dengan mimpi-mimpi yang selama ini jadi tumpuan gw hidup. haha! adakah yang lebih bodoh dari itu? sudah berapa banyak gw merugikan diri sendiri? merugikan dalam artian bukan dia yang menyakiti. tidak. bah, bahkan jarak terdekat antara gw dengan dia adalah sekitar 1 meter. merugikan dalam artian gw tidak bisa konsentrasi, fokus kepada apa yang seharusnya gw kerjakan, fokus kepada mimpi-mimpi gw. apa yang gw lakukan? menginterpretasikan segala sikap dan gerak-geriknya. sampah.
ya, lewat postingan ini sangat terlihat bahwa gw sangat marah, marah kepada diri gw sendiri. marah bahwa gw masih sangat lemah. marah bahwa belum ada hal berarti yang telah gw lakukan. marah karena gw terbawa emosi. marah karena gw sangat mudah teralihkan perhatiannya. marah karena gw sangat menyukai dirinya sampai lupa hampir semuanya. marah karena gw hampir saja mengorbankan apa yang penting buat gw hanya untuk sesuatu yang tidka pasti. ya, cinta bukanlah sesuatu yang pasti. bukan sesuatu yang dapat diperkirakan.
yah, ya udahlah, gw lagi eneg banget. mungkin karena banyak pikiran akhir-akhir ini? bullshit, gw selalu lari dari kenyataan sesampainya gw di rumah... yah, mungkin emang udah waktunya gw sakit. bye.
W. H.