Tujuan yang sedang berjalan, tetapi terlupakan

judul yang aneh? ya, tapi memang itu yang sedang gw alami. sebuah tujuan yang menjadi alasan gw untuk tetap hidup hingga saat ini, tetapi hal itu pelan-pelan meluncur keluar dari tangan gw yang kotor. yah, bilang gw galau. memang. gw kesel terhadap diri gw sendiri. gw kehilangan arah untuk sekali lagi, kawan.

dulu gw sangat yakin untuk masuk fakultas ini, dengan harapan setinggi langit, dengan cita-cita yang melebihi tinggi bintang. ya, gw berharap bisa menyelematkan dan menolong orang sebagaimana selama ini gw selalu ditolong. tapi setelah di sini... hey! gw lah jadinya yang perlu ditolong...

gw kehilangan jiwa gw dulu. kebebasan berpikir gw, kemampuan menggambarkan perasaan gw. sekarang hampir seluruh karya gw cuma jadi benda. ya, cuma sebuah benda. ga ada lagi rasa yang mendayu-dayu, emosi yang kuat, pesan yang ingin gw sampaikan. semua hanya menjadi benda. sebuah usaha pengungkapan perasaan yang gagal.

tertawa? ah, itu adalah hal paling gampang yang selalu kulakukan. tersenyum? itu adalah settingan default wajah gw di kampus. tapi gw cuma jadi seonggok daging yang berjalan. tidak lagi berpikir. gw kehilangan keberhargaan gw. damn, bahkan gw benci bahwa gw harus menulis masalah yang terfokus pada diri gw sendiri seperti ini. gw benci menjadikan diri gw sebagai pusat dunia dan fokus pikiran gw. manusia macam apa gw yang masih sebodoh ini?

gw iri sama beberapa temen gw yang sudah dianggap dewasa, yang sudah mampu menginspirasi orang-orang. iya, gw iri. sebuah kata yang tabu untuk gw ungkapkan, karena berarti hal itu menunjukkan kekurangan dan ketidakmampuan gw. ya, gw benci dianggap lemah. ya, gw memang sombong, kawan. tahukah kau bahwa setiap gw membaca karya temen gw yang terlintas pertama kali di kepala gw adalah, "anjir, gw kalah." yah, gw yakin bakal ada beberapa yang bilang bahwa hal itu manusiawi untuk dipikirkan. tetapi menjadi manusiawi bukanlah tujuan yang ingin gw capai. menjadi biasa-biasa saja dan normal bukanlah tujuan yang ingin gw raih. gw pengen lebih, lebih baik lagi. perfeksionis? idealis? ah, itu semua memang sudah tertanam dalam diri gw.

akhir-akhir ini gw selalu berkata terserah bagaimana dengan orang lain, yang paling penting adalah bagaimana gw dengan diri gw. egois? memang. gw tidak peduli dengan apa yang telah dicapai orang--setidaknya berusaha untuk tidak peduli. lalu gw ngeliat sekeliling gw dan kaget, di situ lah gw menyadari bahwa gw sudah tertinggal. bahwa gw pelan-pelan melepaskan mimpi dan cita-cita keluar dari tangan gw. semua karena apa? semua karena gw terlalu tenggelam dalam perasaan gw. ya, gw terlalu terfokus pada dia yang bahkan tidak peduli dan tidak sadar dengan keberadaan gw. sial. gw selalu benci perasaan seperti ini, tetapi gw rindu untuk merasa dicintai oleh pasangan. ah, rasanya gw pengen memaki. brengsek.

sebuah perasaan yang bertepuk sebelah tangan ditukar dengan mimpi-mimpi yang selama ini jadi tumpuan gw hidup. haha! adakah yang lebih bodoh dari itu? sudah berapa banyak gw merugikan diri sendiri? merugikan dalam artian bukan dia yang menyakiti. tidak. bah, bahkan jarak terdekat antara gw dengan dia adalah sekitar 1 meter. merugikan dalam artian gw tidak bisa konsentrasi, fokus kepada apa yang seharusnya gw kerjakan, fokus kepada mimpi-mimpi gw. apa yang gw lakukan? menginterpretasikan segala sikap dan gerak-geriknya. sampah.

ya, lewat postingan ini sangat terlihat bahwa gw sangat marah, marah kepada diri gw sendiri. marah bahwa gw masih sangat lemah. marah bahwa belum ada hal berarti yang telah gw lakukan. marah karena gw terbawa emosi. marah karena gw sangat mudah teralihkan perhatiannya. marah karena gw sangat menyukai dirinya sampai lupa hampir semuanya. marah karena gw hampir saja mengorbankan apa yang penting buat gw hanya untuk sesuatu yang tidka pasti. ya, cinta bukanlah sesuatu yang pasti. bukan sesuatu yang dapat diperkirakan.

yah, ya udahlah, gw lagi eneg banget. mungkin karena banyak pikiran akhir-akhir ini? bullshit, gw selalu lari dari kenyataan sesampainya gw di rumah... yah, mungkin emang udah waktunya gw sakit. bye.

regards,

W. H.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

i may not be the old me, but i know i'm better than before... and you should know that i'm still here whenever you need me :(

there's this one guy, he's my friend, one of my few best friends. at least i considered him as my best friend. i know, i always know, that he's always struggling on something alone. he never let anyone know about his problems. he's too kind to troubled anyone with his problem. i know, every time i see his eyes, there's always a lot of emotions, even though he wears a mask of no-emotion and such, his eyes are as clear as an open window... once or two, i had him to open up. and now, i kinda regret that i left him alone, yes alone, when i know that he needs someone to hold him, to help him. yes, i do care a lot about him. he's not as strong as he may seem... and not many people notice it. i really wish i could be by his side once again, not just because i want to help him, no, not just that, but because i care a lot about him... i can't see him go down like this anymore... i dunno, but it sure hurts me too to see him down like this...

i dunno it would be better if he read this post or not, but i sure hope i could tell him how much i care about him...

to you who never speak of hurts,

never let yourself get hurt... i'm so sorry that i once left you... you were there when i really need supports... you could say that you've done nothing, but no, just because i knew you were there, it made me stronger...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

we as person, as people

kita sering kali mendengar orang berkata atau bahkan kita sendiri yang mengatakannya, "gapapa, jujur aja sama gw, gw mau tau lu yang sebenernya," atau, "kita bakal nerima lu apa adanya kok, jd lu ga perlu pura-pura." well, i'll tell u something, it's a bullshit. haha! memang komentar saya ini kontroversial. tapi pernahkah anda bertanya pada diri anda sendiri, apa benar anda siap untuk menerima diri orang lain yang sebenar-benarnya? apa yang menjadi pertimbangan anda sebelum berkata demikian? apakah anda berpikir bahwa anda sendiri juga ingin diri anda yang sebenarnya diterima oleh orang lain sebagaimana anda 'menerima orang lain apa adanya'? satu fakta lagi, manusia itu egois.

seringkali kita berkata kepada orang lain bahwa kita siap untuk menerima dirinya apa adanya karena kita tidak tahu hal apa yang menanti kita ke depannya bila hal tersebut terwujud. selain itu, dengan kita berkata kepada orang lain untuk bersikap jujur, apakah kita sendiri sudah bersikap jujur kepada yang lain? apabila anda menjawab ya, sikap seperti apa yang anda anggap jujur? bersikap menurut bagaimana naluri dan perasaan anda mengatakannya? apakah kemudian sikap demikian dapat diterima oleh masyarakat sekitar? bagaimana dengan hak orang lain yang mungkin anda langgar dengan sikap 'jujur' anda tersebut?

bagaimana pun, tidak ada manusia yang dapat bersikap jujur sepenuhnya, dan tidak ada manusia yang tidak memikirkan dirinya sendiri. sebagai contoh, gw sering disebut-sebut sebagai orang yang terlalu baik karena lebih mementingkan orang lain ketimbang diri gw sendiri. tapi apakah sebenarnya gw orang baik? bukan. gw bukan orang baik. gw bersikap baik kepada orang lain untuk merasa bahagia. aneh? mungkin, tapi gw tidak peduli. sebagaimana hampir semua orang terdekat gw tahu bahwa dulu gw sangat emo, depressed, and such. sebagaimana kalau diketahui dalam psikologi mengenai emosi, ada sebuah teori yang bernama facial-feedback hypothesis. dalam teori ini, disebutkan bahwa emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh emosi atau ekspresi emosi yang ditampilkan oleh orang di sekitarnya. kemungkinan terbesar, teori ini pulalah yang paling sering gw terapkan dalam kehidupan sehari-hari. kalau ada yang kenal gw di kampus, pastinya bisa melihat betapa random, konyol, berisik, dan anehnya gw. tapi apa gw sedangkal itu? tidak. memang sebagian besar sikap gw itu jujur, tapi itu bukan gw yang sebenarnya. image yang gw tampilkan di kampus adalah seperti orang yang tidak memiliki masalah sama sekali. tapi apa iya gw adalah orang yang seperti itu? tidak sama sekali. mengapa gw menampilkan image tersebut? seperti yang sudah gw katakan sebelumnya, gw butuh untuk merasa bahagia. dengan gw membuat orang lain merasa senang, gw pun merasakan kesenangan yang sama. as simple as that. gw membuat orang lain senang ya demi gw juga. orang-orang yang memiliki orientasi agama dalam berbuat baik pun sama saja. mereka berbuat baik dengan mengharap pahala dan penambahan amal dari apa yang mereka lakukan. semuanya kembali untuk kebaikan diri sendiri.

jadi, apakah anda masih berpikiran bahwa manusia itu jujur dan tulus? termasuk diri anda sendiri? have a nice day.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Mereka

Pagi yang seperti biasa. Membosankan. Semua rutinitas yang terus berulang membuatku tak ubahnya seperti robot dalam menjalani hidup ini. Pagi yang sama, kegiatan yang sama, halte yang sama pemandangan yang sama. Namun ada satu hal yang selalu menarik perhatianku setiap pagi, yaitu sepasang kakek-nenek yang berada di seberang halte tempat aku biasa menunggu bus.

Hanya sepasang manula yang sudah tua renta. Kurasa mereka gelandangan, setiap pagi aku selalu melihat mereka di pinggir jalan dengan pakaian yang kumal dan compang-camping yang sama. Sebuah gerobak reyot selalu setia mendampingi mereka, gerobak yang biasa digunakan sang kakek untuk membawa istrinya jalan-jalan. Tidak ada yang istimewa dari penampilan mereka. Namun yang menarik perhatianku adalah rasa di antara mereka. Ada rasa sayang yang sangat jelas terpancar dari mata si kakek saat memandang istrinya yang bahkan sudah sulit berbicara. Stroke kurasa. Setiap pagi aku melihat kakek itu akan menyuapi si nenek dengan sabar dan penuh kasih sayang, mengajaknya bicara walaupun tak lagi mendapat tanggapan yang jelas, hanya anggukan lemah dan senyum yang terlihat aneh, bahkan kadang menyeramkan menurutku. Namun demikian. Namun demikian, tak pernah aku melihat kakek itu makan. Hanya segelas-dua gelas air mineral. Itu saja. Terkadang pula aku melihat mereka tidur di trotoar di seberang jalan tersebut. Lebih tepatnya, sang nenek tertidur dengan pulas, sedangkan sang kakek berbaring di sebelahnya, menyelimutinya dengan kain tipis yang sudah kumal dan lusuh. Membelai rambut sang nenek yang sudah memutih dan kusut—entah kapan terakhir kali rambut itu dicuci—serta memandang wajah tidur sang nenek dengan penuh cinta. Terkadang aku merasa iri melihat sang nenek, betapa bahagia hidupnya karena ada yang mencintainya seperti itu. Memang, mungkin mereka tidak memiliki rumah atau harta, tapi seperti yang temanku pernah katakan, mungkin cinta memang sudah cukup.

Bus menuju sekolahku datang. Sudah waktunya aku pergi. Selamat tinggal kakek, selamat tinggal nenek, selamat datang kenyataan. Sekali lagi, rutinitas berulang kembali.



Pagi yang sama, rutinitas yang sama. Sudah lama aku merasa bosan dengan hidupku. Terkadang aku berpikir untuk mengakhiri hidup saja. Toh hidupku seakan tidak bertujuan ini, untuk apa aku terus melanjutkan hidup? Haha! Mengerikan, pikiran untuk mengakhiri hidup saja sudah membuatku merinding! Ya sudahlah, terlalu banyak mengeluh juga tidak akan mengubah kenyataan bahwa rutinitas ini akan terus berulang. Terkadang aku menantikan sebuah drama dalam hidupku, agar segalanya menjadi lebih menarik. Entahlah, mungkin sebuah drama yang menyedihkan? Atau mengharukan? Apapun boleh asalkan hidupku menjadi menarik.

Seperti biasa, aku memandangi pasangan unik di seberang jalan. Namun hari ini ada yang berbeda. Sang kakek tetap membelai rambut istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, bahkan sekali-dua kali mengecup keningnya dengan mesra, tetapi aku tidak melihat adanya reaksi dari sang nenek. Sepertinya sang nenek hanya diam, terkulai lemas dalam gerobak tempatnya biasa tidur.

Rasa penasaran yang besar mendorongku untuk menyebrangin jalan yang agak senggang pagi itu. Perlahan aku menghampiri sang kakek yang masih tersenyum memandangi istrinya dengan penuh cinta. “Maaf, Kek,” sapaku ragu-ragu, “ada apa dengan nenek?” Sang kakek hanya tersenyum lembut mendengar pertanyaanku yang polos. Sorot matanya—aku tidak tahu, terlalu banyak emosi bercampur-aduk di sana—terlihat sendu, rasa cinta, sedih, pilu, sakit, seakan itu semua menari-nari dalam matanya yang bening dan terlihat lelah. Kantung matanya yang gelap seolah semakin memancarkan rasa pilunya. Baru kali ini aku melihatnya sedekat ini.

“Adik kelas berapa?” Tanyanya lembut, seolah menghindar untuk menjawab pertanyaanku tadi. Aku hanya menatapnya bingung, tidak mengerti korelasi antara pertanyaan yang kuajukan tadi dengan pertanyaan yang diajukannya.

“Umm, kelas 3 SMP, Kek,” jawabku pada akhirnya. Senyum di wajah kakek itu semakin mengembang, mempertegas kerut-kerut di wajahnya yang sudah terlihat uzur.

“Adik mau berangkat sekolah?” Tanyanya lagi, memandang seragam putih-biruku. Aku menimbang-nimbang, sebentar lagi aku akan menghadapi ujian nasional, tetapi perasaanku mengatakan bahwa lebih baik untuk hari ini aku duduk dan menemani sang kakek dan nenek. Akhirnya perlahan menggelengkan kepala. “Mau menemani kakek di sini? Ada sebuah dongeng yang ingin kakek ceritakan,” ujarnya sambil menepuk-nepuk trotoar, menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah kakek ini benar dapat dipercaya? Dongeng macam apa yang ingin diceritakannya?

Kakek itu berdehem, mempersiapkan diri untuk memulai ceritanya. Tangannya yang sudah terlihat kisut, menggenggam tangan istrinya erat-erat, seolah takut istrinya akan menghilang bila ia melepaskan genggamannya tersebut. Kemudian dia memandang istrinya sekali lagi, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada diriku yang duduk menunggu. “Dulu sekali, ada pasangan suami-istri yang bahagia,” sang kakek memulai ceritanya, “mereka hidup bergelimang harta dengan anak-anak yang sehat, lucu, cerdas, tampan, dan cantik.”

“Namun, suatu hari, sang suami merasa tidak puas dengan kehidupannya. Di matanya, istrinya telah buruk rupa, sudah tua, sudah tidak menarik bagi birahi si lelaki ini. Dengan kurang ajar, lelaki tersebut kemudian meniduri sekretarisnya. Bukan memerkosa, tetapi sekretarisnya pun menawarkan diri. Tubuh yang putih mulus dan molek, rambut ikal yang menggoda, sungguh perempuan idaman setiap lelaki. Tidak terkecuali lelaki ini.

Berulang kali dia tidur dengan sekretarisnya tersebut. Sampai akhirnya berita ini menyebar di seluruh kantornya. Termasuk istri dan anak-anaknya pun mendengar hal ini. Sedih tak terkira sudah istrinya, tak luput pun anak-anaknya—bahkan mereka sudah penuh diliputi kemarahan tiada tara terhadap ayahnya. Namun lelaki ini tidak peduli. Baginya hartanya sudah cukup untuk membayar semua kesalahannya, baginya selama hartanya masih mengalir untuk keluarganya, itu sudah membuat keluarganya bahagia. Semua itu salah, istrinya sudah hancur-lebur hatinya, tetapi tetap bersikukuh untuk terus berada di sisi suaminya. Ia yakin suatu saat suaminya akan kembali ke jalan yang benar, dan ia bersedia untuk menunggu hingga saat itu tiba. Tanpa pengecualian, kondisi apa pun.

Lelaki ini semakin lama semakin terikat dengan sekretarisnya ini. Lama-kelamaan segala hartanya mulai diberikan kepada perempuan tersebut. Hal ini semakin memuncakkan kemarahan anak-anaknya. Sudah berulang-kali anak-anaknya berkata kepada ibunya untuk berpisah saja dengan lelaki ini, tetapi ibunya tetap bersikukuh, dia percaya bahwa cinta suatu saat dapat mengalahkan segalanya. Konyol, itulah pikir anak-anaknya pada saat itu. Harta mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan ahli waris sudah dipindah-tangankan kepada sekretarisnya tersebut, tanpa mengacuhkan pendapat dari anak-anak maupun istrinya.

Anak-anaknya pada akhirnya merasa muak dengan segala tingkah-polah ayahnya. Mereka yang saat itu sudah beranjak dewasa, memutuskan untuk keluar dari rumah tersebut. Proses membujuk sang ibu gagal, sang ibu tetap dengan keras kepala mengatakan akan menunggu suaminya kembali. Akhirnya apa mau dikata, sang ibu pun ditinggalkan sendiri oleh anak-anaknya, sementara satu per satu perabotan dan benda-benda dalam rumah tersebut mulai lenyap karena digunakan lelaki tersebut untuk membiayai sekretarisnya.

Pada akhirnya, seperti yang sudah diduga, lelaki ini kehabisan semua hartanya. Dia pun jatuh miskin. Ditambah lagi, dengan kurang ajarnya sekretaris ‘teman bermainnya’ pun meninggalkannya, “sudah tidak ada harta yang bisa kuambil lagi darimu,” itulah kata-kata terakhir dari sekretarisnya sebelum pergi meninggalkannya. Lelaki ini pun sudah dipecat dari pekerjaannya karena skandal yang dimilikinya. Sudah tidak ada lagi harta yang dimilikinya. Hanya satu yang masih dimilikinya, cinta dari istrinya. Hanya itu yang tersisa.



Saat itulah kemudian lelaki ini menyadari, betapa berharganya istrinya. Bahwa istrinya selalu berada di sisinya apa pun yang terjadi, tetap setia menantinya kembali sebrengsek apa pun dirinya. Namun saat dia menyadari hal tersebut, semua sudah terlambat, istrinya terkena stroke. Hilang sudah segala kemampuannya untuk menyenangkan suaminya. Seandainya dulu, biaya pengobatan ini pasti terlihat murah untuknya, tetapi bahkan sekarang rumah pun mereka sudah tidak punya, sudah disita untuk membayar hutang-hutangnya. Tak dapat lelaki ini memaafkan dirinya, tidak melihat cinta yang begitu besar dari istrinya. Hilang sudah sayang dari anak-anaknya, tetapi tidak dengan cinta dari istrinya. Namun saat ia menyadarinya, semua sudah terlambat baginya untuk balas mencintai istrinya. Mungkin itulah hukuman dari Tuhan untuknya yang sempat berpaling ke jalan yang gelap, dan hukuman ini tidak terkira sakitnya bagi lelaki ini. Cinta saja tidak cukup baginya untuk menebus segala dosa dan kesalahan pada istrinya. Namun istrinya menerimanya kembali, dengan cinta yang sama seperti dulu, dengan perasaan yang sangat tulus, ia memaafkan suaminya. Akhir dari cerita ini adalah seperti yang kau lihat saat ini, Nak…” Akhirnya kakek itu menamatkan ceritanya. Tak terasa sebulir air mata mengalir turun di wajahku. Sakit rasanya dadaku mendengar cerita sang kakek.

Susah payah aku menahan tangis dan menelan air ludah, “lalu, apa yang akan Kakek lakukan sekarang? Ada apa dengan nenek?” Aku kembali mengulangi pertanyaanku di awal tadi. Sekali lagi sang kakek hanya tersenyum.

“Nenek sekarang sudah tenang, Nak, dia sudah selesai memberikan hadiahnya untukku. Walaupun tugasku untuknya masih belum selesai, masih banyak hutang yang harus kubayarkan kepadanya, tetapi untuk tugas terakhirku sekarang adalah membawanya ke tempat tidurnya yang terakhir dan terbaik.” Hanya itu jawaban sang kakek. Tangannya yang keriput kemudian mulai menarik gerobak tuanya. Tubuh sang nenek yang sudah kaku, terlihat meringkuk dalam gerobak tersebut. “Selamat tinggal, Nak! Hidup ini adalah sebuah anugerah terindah!” Pesan sang kakek seraya melambaikan tangannya padaku.

Langit sore ini mendung, tetapi matahari bersinar cerah, membuat suasana sore yang berwarna jingga ini menjadi sendu. Satu cerita itu sudah membuka mataku. Setiap hal kecil yang kita miliki adalah sebuah anugerah. Aku bodoh karena sudah meremehkan hidupku. Menjalani hidup bagai robot atau menikmati setiap momennya, itu merupakan pilihan sendiri, dan aku bodoh karena sudah memilih untuk menjadi
robot dan mengutuk hidupku.

Pertemuan dengan pasangan kakek-nenek itu sudah mengubah hidupku. Sekarang setiap momen adalah suatu harta tersendiri yang tidak akan pernah terulang lagi bagiku. Sekarang aku memandang segalanya berbeda. Sebuah cerita yang singkat, tetapi rumit dan penuh lika-liku, aku mengucapkan banyak terima kasih kepada sang kakek karena telah mengubah hidupku menjadi lebih berarti berkat ceritanya. Namun saat selesai bercerita, saat itulah terakhir kali aku bertemu dengannya…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Nama di Bawah Hujan

Aku ingat saat pertama bertemu dengannya. Saat hujan seperti ini. Tiga tahun yang lalu.

Hujan deras mengguyur rerumputan yang mulai layu. Aku yang sedang bercanda dan tertawa bersama teman-temanku dalam ruangan kafe yang hangat. Tiba-tiba aku melihatnya. Tubuhnya yang dibalut kaus berwarna merah tampak mencolok dari kejauhan. Payungnya yang berwarna biru metalik tampak seolah berbinar di bawah sinar lampu yang agak redup. Seperti biasa, wajahnya yang rupawan tampak lelah, tetapi posturnya tetap tegap, seolah baik-baik saja.

Kemudian dia berjalan mendekat sambil melipat payungnya. Saat dia melewati meja kami, terlihat beberapa tetes bekas air hujan menetes dari rambutnya yang cokelat dan lengannya yang putih bagai pualam. Tak lama kemudian dia memutuskan untuk duduk tak jauh dari kami. Teman-temanku masih terus bercanda dan tertawa tanpa ada yang menghiraukannya, mereka benar-benar tidak menyadari keberadaan lelaki ini.

Sudah banyak aku melihat lelaki tampan, tetapi ini pertama kalinya aku benar-benar terpana melihat seseorang. Tanpa tersenyum, tanpa berekspresi, matanya seolah-olah sudah bercerita mengenai banyak hal. Ada sesuatu yang misterius mengenai dirinya, dirinya yang selalu datang tiap hujan tiba, sesuatu yang berhasil menjerat diriku. Sulit untuk melepaskan pandanganku darinya. Nama, itu yang aku butuhkan darinya sekarang. Namanya. Dirinya seorang, dirinya yang selalu datang saat hujan tiba.

Lama aku memandanginya. Tiba-tiba dia sedikit terlonjak dari duduknya. Dengan cepat dia meraih telepon genggam di kantung celananya. Sebuah pesan kurasa. Sebuah senyum simpul tersungging di wajahnya yang nyaris sempurna. Sebuah senyum yang membuat hatiku sakit, karena aku tahu senyum itu takkan pernah untukku, sekarang maupun selamanya. Sekarang, saat semuanya telah terlambat.

Bel di pintu masuk berdenting. Seorang perempuan dengan kulit bak pualam dan sehalus sutra tampak membuka pintu. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tampak membingkai wajah indahnya yang oval, semakin menonjolkan matanya yang hitam dan berbinar-binar. Jari-jarinya yang panjang dan lentik bergerak dengan anggun untuk menutup payungnya yang berwarna keperakan.

Lelaki tadi kemudian berdiri, menghampiri perempuan ini. Sebuah senyum yang secerah mentari pagi, sebuah senyum yang selalu berhasil menghentikan jantungku, tampak dengan jelas di wajahnya yang selalu ingin kubelai. Kemudian dia memeluk perempuan ini dengan mesra, sebelum akhirnya menciumnya dengan penuh kasih sayang. Sekali lagi, aku terenyak. Air mata mulai mengalir turun di wajahku yang kini pucat. Walau demikian aku tetap tersenyum. Aku tahu, sudah lama aku tahu, bahkan sejak pertama kali melihatnya waktu itu, aku tahu bahwa hatinya sudah ia serahkan pada yang lain. Aku tahu itu, tetapi apa daya, hatiku tetap tidak mau mendengar perintah untuk tidak menangis. Aku telah jatuh hati padanya...

Teman-temanku mulai beranjak berdiri untuk pergi, kembali meninggalkan diriku sendiri di sini. Mereka masih terus bercanda dan tertawa, sampai sahabatku menoleh menatapku. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba berkata kepada yang lain, "ingatkah kalian saat terakhir kali kita bersamanya? Saat itu juga hujan, sama seperti ini. Kita juga berada di kafe yang sama..." air matanya mulai mengalir membasahi wajahnya yang elok. Aku hanya dapat tersenyum miris mendengarnya. Air mataku yang sedari tadi sudah keluar, sekarang bertambah deras. Mereka semua hanya dapat terdiam memandang kursi yang kududuki, yang hanya tampak kosong di mata mereka.

"Sudahlah, hal itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu... Dia sekarang sudah tidak ada... Kau pun tahu itu..." Kemudian mereka berbalik menuju pintu dan keluar. Kembali meninggalkan aku yang hanya dapat menatap lelaki itu dengan penuh sayang tanpa pernah dapat berbuat apa-apa. Saat semuanya sudah terlambat. Aku hanya dapat menunggunya di sini, setiap hari, tanpa henti. Dirinya yang selalu datang tiap hujan turun. Hanya dapat mengulangi rasa sakit di jantungku yang tak lagi berdetak.

Nama. Itu saja yang aku butuhkan darinya. Hanya sebuah nama, hanya itu yang dapat membuatku tenang untuk selamanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments